Antara harapan, keinginan dan kenyataan yang tak sejalan
Homepoint.id- Tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Agatha (27) harus masuk ke dalam lingkaran generasi sandwich lantaran terjebak dalam kewajiban tanggungan 2 Generasi.
Statusnya yang hanya sebagai pekerja di salah satu gerai retail modern benar-benar membuatnya tak bisa bergerak nyaman dalam mencukupi kebutuhannya. Tidak berhenti di situ, wanita berkepang manja ini ternyata juga harus bisa memenuhi kebutuhan keluarganya yang terdiri dari Bapak- Ibu serta dua adiknya yang masih menempuh pendidikan menengah dan dasar.
Ia kerap mengaku dalam posisi sulit nan terjepit ketika gelontoran kebutuhan datang dalam waktu yang bersamaan.
Nyatanya, Agatha tidak sendirian. Ada juga Sony yang memiliki persoalan serupa dengan Agatha. Bahkan mungkin lebih berat lagi lantaran Ia telah menikah dan memiliki dua anak yang jarak usianya tidak lebih dari dua tahun. Praktis Sony terlihat lebih tua dari teman-teman seumurannya yang baru menginjak 30 tahun pada Juni mendatang.
Baik Agatha maupun Sony sesungguhnya keduanya bisa disebut sebagai generasi sandwich. Istilah yang populer dan merujuk pada anak muda kelahiran 1980-2000 yang saat ini harus menanggung beban keuangan orang tuanya, hingga tanggungan anak dan keluarganya.
Generasi ini kerap disebut sebagai generasi yang terjepit karena lahir dari adanya kesenjangan antara generasi lama dan generasi baru. Kesenjangan ini tercipta karena pergeseran sosial.
Definisi itu yang kemudian dipertegas oleh Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono yang menyebutkan bahwa ada kesenjangan kemampuan kapasitas dari generasi lama dan generasi baru karena terjadinya perubahan sosial.
“Kita tahu sekarang ini terjadi pergeseran sosial di mana lebih kuat pada aspek-aspek atau pekerjaan-pekerjaan yang digital sehingga kompetensi-kompetensi lama misalnya zaman, saya gitu ya ngetik itu analisis juga, itu sudah ketinggalan jauh dengan analisis-analisis zaman sekarang,” jelasnya seperti yang dikutip dari Kumparan.
Ketika generasi lama sulit beradaptasi dengan perubahan zaman yang otomatis menjadi tidak produktif, generasi muda yang adaptif harus menanggung beban lebih besar. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan sandwich generation pada generasi muda.
“Nah karena gap ini anak-anak itu akhirnya harus menanggung beban produktivitas yang hilang yang lemah dari orang tuanya dan juga nanti ke anak-anaknya gitu, karena dia harus menikah, anak-anaknya dia harus biayai juga,” imbuhnya lagi.
POV dari istilah ini adalah keberadaan posisi yang serba tidak nyaman dan berat karena dipertemukan dengan dua atau tiga generasi yang memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda-beda.
Sandwich Generation sendiri diperkenalkan pertama kali pada tahun 1981 oleh seorang Profesor sekaligus direktur praktikum University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat bernama Dorothy A. Miller. Generasi sandwich merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup 3 generasi yaitu orang tuanya, diri sendiri, dan anaknya.
Kondisi tersebut dianalogikan seperti sandwich dimana sepotong daging terhimpit oleh 2 buah roti. Roti tersebut diibaratkan sebagai orang tua (generasi atas) dan anak (generasi bawah), sedangkan isi utama sandwich berupa daging, mayonnaise, dan saus yang terhimpit oleh roti diibaratkan bagai diri sendiri. Dikutip dari berbagai sumber, generasi sandwich terjadi pada seseorang baik pria maupun wanita yang memiliki rentan umur dari 30 hingga 40 tahun. Namun ada pula yang menyebutkan rentang umur antara 30 hingga 50 tahun.
Namun, seorang Aging and Elder Care Expert (seniorliving.org) bernama Carol Abaya mengkategorikan generasi sandwich menjadi tiga ciri berdasarkan perannya:
- The Traditional Sandwich Generation
Orang dewasa berusia 40 hingga 50 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua berusia lanjut dan anak-anak yang masih membutuhkan finansial.
- The Club Sandwich Generation
Orang dewasa berusia 30 hingga 60 tahun yang dihimpit oleh beban orang tua, anak, cucu (jika sudah punya), dan atau nenek kakek (jika masih hidup).
- The Open Faced Sandwich Generation
Siapapun yang terlibat dalam pengasuhan orang lanjut usia, namun bukan merupakan pekerjaan profesionalnya (seperti pengurus panti jompo) termasuk ke dalam kategori ini.
Dampak Psikologi Generasi Sandwich
Ibarat sandwich yang bebannya terus ditumpuk. Tanggungan ekonomi untuk generasi sandwich tentu tidak ringan. Ditambah dengan inflasi yang terus naik dan semakin membebani generasi sandwich.
Kondisi ini lama kelamaan akan membuat dia merasa terjepit dan tidak bisa lepas. Di satu sisi ia merasa bertanggung jawab atas beban normatif sebagai anak, di satu sisi ia juga ingin bebas dan sejahtera.
Bila beban tidak bisa dibagi atau bahkan dikomunikasikan, ia akan berusaha kabur dengan cara yang lain. Salah satu caranya, menurut Drajat adalah dengan mencari pinjaman online.
“Dampaknya itu dia berat dan kalau dia tidak bisa mengekspresikan tekanan di dalam keluarganya itu keluarnya ya dia akan meninggalkan keluarga itu kalau dia tidak,” ujar Drajat.
“Anak-anak yang mengalami itu mereka kemudian keluar dengan alternatif yang di zaman digital itu mudah yaitu pinjaman online,” tambahnya.
Mencari pinjaman online dengan harapan beban generasi sandwich ini akan berkurang banyak sekali terjadi. Padahal kata Drajat kondisi ini sama sekali tidak meringankan melainkan kebalikannya yaitu menambah masalah baru.
Di lain sisi, anak yang jadi generasi sandwich juga akan merasa keluarga adalah musuh dan memilih untuk tinggal terpisah dari keluarga yang jadi tanggungan.
“Akhirnya keluarga itu bisa menjadi musuh bagi dia,” kata Drajat.
Lalu Apakah Ada Jalan Keluarnya?
Drajat menekankan pada beberapa kasus, kerap yang menjadi beban generasi sandwich adalah orang tua yang tidak punya jaminan hari tua.
“Pemerintah harus menyediakan jaminan itu baik itu berupa kesehatan, BPJS juga mereka harus bayar karena untuk orang tua umur 60 ke atas, kemudian seperti di kereta api, pemerintah membebaskan,” jelas Drajat.
Dengan berkurangnya pengeluaran orang tua, beban yang ditanggung generasi sandwich juga dapat berkurang.
Ia juga menyarankan pemerintah juga mengontrol pinjaman online agar tidak menjadi jalan keluar impulsif yang diambil oleh generasi sandwich yang justru kerap menjadi masalah baru.
Terakhir perlu ada penguatan aspek sosiologis untuk anggota keluarga. Drajat menyebut perlu ditekankan bahwa beban keluarga seharusnya ditanggung bersama oleh orang tua dan anak. Bukan hanya satu pihak.
“Jadi aspek psikologi ada penguatan di sosiologi di norma-norma terhadap orang tua terhadap anak itu dan juga pada dukungan pada orang tuanya itu semuanya harus dilakukan bareng-bareng,” ujar Drajat.
“Karena gini jadi generasi sandwich ini kan bukan kemauan anak itu tapi karena struktur masyarakat, struktur keluarga yang seperti itu yang memberikan tuntutan kepada dia sangat besar,” tambahnya.
Sebelum sampai pada usia tidak produktif, Drajat menyarankan masyarakat mulai melakukan model pemberdayaan. Misalnya model kapabilitas atau model yang sustainability dengan cara memiliki pekerjaan lebih dari satu.
Saat muda, ia bisa bekerja sebagai guru sekaligus membuka toko. Sehingga saat sudah tidak dalam usia produktif, masih ada cadangan pemasukan yang dapat diandalkan. Menurut Drajat cara ini dapat terwujud dengan bantuan dari perusahaan, bank, ataupun pinjaman dari pemerintah.
“Diharapkan ada support untuk membuka usaha yang beraneka ragam. Itu bisa jadi perusahaan dari bank dari pemerintah gitu sehingga keluarga itu banyak alternatifnya,” tutup Drajat.
Dari berbagai sumber: Kumparan dan OJK