Homepoint.id, Jakarta- Dalam perjalanan pulang dari bandara Soekarno Hatta, Tangerang, di ruang tunggu transportasi publik, sekilas saya menyimak diskusi pasangan muda-mudi yang tengah pusing memilih lokasi hunian setelah menikah nanti.
Si perempuan terlihat kekeuh ingin tinggal di Depok karena bayangannya Depok dekat Bogor dan pasti suasanya adem. Berkali-kali pula, si cowok mencoba meyakinkan perempuan di hadapannya bahwa kalau mau cari kawasan hunian yang sejuk, hijau dan nyaman bisa juga di daerah atau hunian lain yang sudah mengusung konsep hijau.
Katanya, saat ini tren pembangunan sebuah kawasan atau hunian sudah banyak mengusung konsep eco green living dalam penerapan pengembangan proyeknya. Tidak hanya dari penggunaan material bangunannya, tapi juga sampai adanya area khusus yang dikembangkan dan mampu mengakomodasi lingkungan yang sehat, baik dari air dan udaranya.
“Jadi ga harus tinggal di Depok karena hanya dekat dari Bogor kan Mit?,” tegasnya.
(Saya menduga ceweknya bernama Mita, sehingga dipanggil Mit oleh cowoknya.)
Konsep green living belakangan ini memang tengah menjadi tren yang populer di kalangan pengembang. Beberapa di antaranya bahkan tersebut cukup total mengaplikasikan gaya ini dengan menerapkan pelaksanaan komitmen ESG yakni Environmental, Social and Governance.
Dengan mengusung konsep ini (ESG), tentu akan ada nuansa baru bagi penghuninya karena terciptanya harmonisasi kehidupan yang jauh lebih baik dan berkualitas.
Dalam hal ini, EleVee Residences, sebuah proyek prestisius dari Alam Sutera adalah contoh ideal yang menerapkan konsep Eco Green Living dalam kawasan pengembangannya.
Chief Marketing Officer (CMO) Elevee Condominium Alvin Andronicus mengatakan bahwa EleVee Residences merupakan hunian vertikal yang mengedepankan faktor hijau sebagai prioritasnya.
Hal itu juga dipertegas oleh Iwan Prijanto, Chairperson Green Building Council Indonesia (GBCI) yang mengatakan bahwa developer harus berperan aktif untuk menjaga lingkungan dalam pengembangan proyek properti melalui konsep properti hijau. Penerapan konsep properti hijau merupakan kontribusi sektor swasta dalam upaya mengantisipasi perubahan iklim global.
Katanya, sektor swasta merupakan panglima sebagai prime-mover yang memicu keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Pemerintah jarang memiliki visi dalam pembangunan suatu kawasan. Padahal, di negara-negara yang sudah sangat baik, seperti Jepang, Singapura dan Hong Kong, tidak memberi ruang terhadap on-demand planning.
“Di negara maju, pemerintah bertanggung jawab menciptakan perencanaan jangka panjang. Pelaku usaha swasta tinggal menyesuaikan dengan perencanaan tersebut. Sedangkan di Indonesia yang terjadi justru kebalikannya,” tegas Iwan dalam Elevee Media Talk, di Alam Sutera.
GBCI mencatat, proses konstruksi sebuah bangunan mengkonsumsi 35% energi dan 12% air, menghasilkan 25% sampah serta mengeluarkan 39% emisi gas rumah kaca (greenhouse gases). Setelah pembangunan selesai, operasionalisasi bangunan bertingkat itu berkontribusi tiga besar teratas produksi emisi karbondioksida (CO2).
“Suka tidak suka, developer harus turut berperan aktif dalam kegiatan memerangi perubahan iklim dunia. Bagi developer yang tidak bisa mengikuti ketentuan net zero carbon dalam aktivitas usahanya, maka dalam 10 tahun mendatang pasti akan terlambat. Risikonya adalah mereka bakal sulit menjual unit properti miliknya,” kata Iwan.
Sejak didirikan tahun 2009 silam, GBCI telah menerbitkan sertifikasi bangunan hijau atau greenship terhadap sejumlah proyek properti. Bahkan, sertifikasi hijau terbitan GBCI juga sudah mendapat pengakuan dari World Green Building Council. Hal ini seiring telah resminya GBCI sebagai anggota World Green Building Council sejak tahun 2017 silam.
“Konsep bangunan hijau bertujuan melakukan konservasi, efisiensi serta saling berbagi dalam pemanfaatan sumber daya energi, air, lahan, udara dan lingkungan,” kata Iwan.
Alvin Andronicus juga mengakui jika penerapan konsep properti hijau memang sangat penting dalam pengembangan sebuah kawasan properti. Elevee Condominium yang merupakan bagian dari properti milik PT Alam Sutera Realty Tbk juga sudah mengadopsi konsep properti hijau.
“Secara kasat mata, properti di Alam Sutera sudah menerapkan konsep properti hijau. Misalnya, penanaman pohon sebagai kanopi yang menaungi pedestrian, penggunaan transportasi publik terpadu, pengolahan sampah terpadu, water treatment plan (WTP) yang memproduksi air bersih untuk dialirkan ke rumah-rumah warga di Alam Sutera,” beber Alvin.
Tidak hanya itu, jelas Alvin, pengembang Alam Sutera yang berpengalaman selama 30 tahun, juga memasang 500 closed circuit TV (CCTV) di sejumlah titik sebagai alat pemantau arus lalu lintas. “CCTV itu merupakan bagian dari Traffic Management System yang dijalankan oleh pengelola Alam Sutera untuk mengantisipasi tumpukan kendaraan agar tidak menimbulkan polusi udara. Kami juga tengah mengembangkan pengelolaan sampah terpadu agar bisa mewujudkan zero waste,” ucapnya.
Semua Harus Terlibat
Alvin menjelaskan, konsep properti hijau juga harus menjangkau seluruh kalangan terkait. Misalnya, masyarakat baik yang bermukim di proyek properti yang dikembangkan oleh developer, maupun masyarakat di sekitarnya.
“Alam Sutera selalu mengajak warga untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga keasrian lingkungan. Contoh sederhananya, kami mengajak warga dan masyarakat sekitar untuk tidak membuang sampah sembarangan di kawasan Alam Sutera,” tegasnya.
Lebih lanjut Iwan mengatakan, saat ini ada tiga model pengembang terkait penerapan konsep properti hijau di Indonesia. Pertama, konsep properti hijau masih sebatas gimmick marketing untuk menjaring calon konsumen. Kedua, properti hijau sudah menjadi acuan bagi perusahaan pengembang. Untuk pengembang kategori kedua ini, tenaga marketing sudah berperan aktif dalam mengamplifikasi kebijakan pemilik perusahaan menyangkut aspek properti hijau. Adapun kategori ketiga adalah pengembang kategori kedua, namun yang sudah mengantongi sertifikasi properti hijau dari lembaga resmi.
“Saat ini proyek properti dari Alam Sutera masih dalam kategori kedua. Kami tentunya berharap pengembang nasional seperti Alam Sutera bisa menaikkan levelnya hingga ke kategori ketiga,” tegas Iwan.
Merespons tuntutan greenship tersebut, Alvin menegaskan, pihaknya memang sudah mengarah ke proses sertifikasi properti hijau. Dia mengakui bahwa untuk memperoleh sertifikasi properti hijau memang tidak semudah membalik telapak tangan.
“Ada beragam ketentuan yang wajib dipenuhi oleh pengembang. Salah satu yang masih sulit untuk dipenuhi adalah penggunaan material bangunan yang sepenuhnya harus bersertifikasi hijau. Padahal, belum ada produsen bahan bangunan lokal yang bisa memenuhi ketentuan itu,” pungkasnya.
Alvin melanjutkan, penerapan prinsip ESG oleh Elevee tak sekadar slogan, namun nyata diimplementasikan. Bagi, Elevee, penerapan ESG juga akan memberikan dampak positif bagi pengembang dan pemilik properti.
“Seperti pengurangan biaya operasional, penghematan penggunaan energi listrik, hingga peningkatan kesehatan dan produktivitas penghuni,” tegasnya.
Dia menyebutkan, Elevee Condominium sudah menggunakan material ramah lingkungan. Salah satunya, pengunaan double glass pada jendela apartemen. Penggunaan material itu diyakini mampu mereduksi sengatan sinar matahari sehingga mengurangi pemakaian pendingin udara di dalam ruangan.
Elevee Condominium juga memiliki fasilitas forest park seluas 4 hektare untuk berbagai aktivitas. yang merupakan bagian dari Alam Sutera sudah menerapkan konsep yang bersentuhan dengan lingkungan. Seperti adanya kawasan green tunnel hingga traffic management agar menciptakan suasana yang nyaman bagi penghuni.
Alam Sutera merupakan kawasan seluas 800 hektare yang dikembangkan selama tiga dekade. Beragam properti sudah dikembangjan, mulai dari hunian berkonsep cluster, hingga properrti komersial dan bisnis.
Saat ini Alam Sutera mengembangkan Elevee Condominium, hunian vertikal yang dilengkapi dengan beragam fasilitas untuk kebutuhan penghuninya dan juga forest park seluas 4 hektare yang akan menjadi jantung kehidupan, central living Alam Sutera.